Berdasarkan keterangan dari Bapak Helmi (Helmi Art and Museum):
Ketika Joko Tole masih kecil, beliau sering ditinggal oleh Empu Keleng ke Majapahit. Ketika ditinggal tersebut, Joko Tole berkarya dengan membuat keris dengan dengan teknik dipijat sehingga menghasilkan keris dengan Luk Sinandi. Pada ujung pesi terdapat lubang, yang diyakini oleh masyarakat Pakandangan bahwa dulu Joko Tole membuat beberapa keris yang kemudian diikat menjadi satu dengan tali pada bagian pesi yang berlubang.
Dhapur Bethok Kebo Lajer menggambarkan pribadi yang kuat, sederhana, dan bersahaja seperti kerbau pekerja yang tidak banyak bicara, namun selalu setia menunaikan tugasnya. “Kebo” melambangkan kekokohan dan daya tahan, sementara “Lajer” merujuk pada bilah yang lurus dan ramping, simbol ketegasan arah dan kejernihan niat. Pemilik pusaka ini adalah seseorang yang tidak mudah goyah, mampu memikul tanggung jawab besar, serta tetap rendah hati dalam menjalani kehidupan.
Keistimewaan dhapur ini terletak pada wataknya yang mencerminkan keteguhan dan etos kerja yang tinggi—sosok yang melangkah dengan mantap tanpa tergoda gemerlap dunia, tetapi justru dihormati karena ketulusan dan ketekunan.
Adapun pamor Kelengan, dengan warna hitamnya yang pekat, membawa doa agar pemiliknya dianugerahi ketenangan batin, kekuatan spiritual, serta kemampuan melihat inti dari setiap persoalan. Ia melambangkan kedalaman jiwa dan penguasaan diri.
Perpaduan Bethok Kebo Lajer dan pamor Kelengan menjadikan pusaka ini simbol pribadi yang kuat, teguh, dan selalu bijaksana dalam diam.

A. Hasyim
Wilah pusaka ini memiliki keunikan yaitu seperti berbentuk tidak lurus rapi, melainkan seperti bergelombang, sehingga menimbulkan kesan kalau dibuat dengan cara ditekan menggunakan jari tangan (dipijat/dipejet).