Setelah Keris dan Wayang, kini giliran Kebaya, Reyog dan Kolintang dapat sertifikat pengakuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage) dari lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB, UNESCO.
Dengan demikian kini sudah ada 16 warisan budaya Indonesia yang diakui dunia melalui UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda, yakni Wayang, Keris, Batik, Canting, Angklung, Tari Saman, Noken, Tari Bali, Pencak Silat, Pantun, Gamelan dan yang tiga terakhir adalah Kebaya, Reyog Ponorogo dan Kolintang.

Khusus untuk Kebaya, negara pengirim usulan tidak hanya Indonesia (melalui pemerintah Daerah Khusus Jakarta, akan tetapi beberapa negara Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore dan Thailand.
“Bahwa elemen budaya yakni kebaya merupakan hasil kolaborasi atau nominasi bersama Indonesia dengan Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura dan Thailand,” ungkap Endah T.D. Retnoastuti – Direktur Jendral Diplomasi, Promosi dan Kerjasama Kebudayaan Kementerian Kebudayaan, dalam acara penyerahan sertifikat UNESCO pada para pihak pemangku kebudayaan di Museum Nasional Republik Indonesia (Museum Gajah), Selasa (02 Desember 2025) malam.
Untuk Kebaya, kata Dirjen Endah, Pengakuan dari UNESCO ini menjadi penegasan, bahwa kain dan busana bukan sekedar pakaian, akan tetapi juga elemen budaya yang melengkapi identitas, kreativitas perempuan dan jalinan Sejarah AsiaTenggara.
Industri Budaya
Lebih lanjut Dirjen Endah Retnoastuti mengungkapkan, bahwa sertifikat pengakuan UNESCO ini sebenarnya bukan akhir sebuah perjalanan budaya. Akan tetapi justru awal perjalanan.
“Harapan kita agar ketiga warisan budaya takbenda tersebut setelah diserahkan dan setelah masuk dalam inskripsi UNESCO terus dilestarikan, dan juga terus dikembangkan dan juga dijadikan, dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar menjadi industri ekonomi, industri budaya,” kata Endah Retnoastuti.
Kalau Kebaya merupakan kolaborasi atau nominasi bersama beberapa negara, maka Kolintang yang notabene merupakan budaya berasal dari Minahasa, juga merupakan hasil nominasi “extended multinational” bersama antara Indonesia, Mali, Burkina Faso dan Pantai Gading di Afrika.
Capaian ini menurut Dirjen Endah, menjadi pemantik untuk memastikan regenerasi pemain kolintang, memperkuat ekosistem musik tradisi, dan menjadikan kolintang bukan hanya sebagai simbol warisan akan tetapi juga sumber kreativitas dan inovasi baru dalam seni musik.
Kemudian Reyog Ponorogo dari Jawa Timur menjadi salah datu elemen budaya yang termasuk dalam daftar ICH yang “memerlukan perlindungan mendesak”. Hal ini pun menjadi momentum untuk memperkuat peran komunitas, meningkatkan pendidikan kewarisan, memastikan keberlanjutan ekonomi para pelaku, serta mengukuhkan posisi reyog sebagai kebanggaan nasional yang hidup dan relevan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Capaian pengakuan internasional yang menggembirakan ini, kata Dirjen Diplomasi Budaya, merupakan hasil kolaborasi, kerjasama antara Menteri Kebudayaan dengan Kementerian Luar Negeri, ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), pemerintah daerah, komunitas-komunitas, setelah seluruh pemangku kepentingan yang menunjukkan bahwa pelestarian budaya bisa dilaksanakan dengan baik lewat kebersamaan dan kolaborasi tingkat lintas sektor, dan lintas generasi bahkan lintas bangsa dan lintas benua.
“Sertifikat ini adalah mandat internasional, komitmen negara, agar kita bersama-sama menjaga keberlanjutan tradisi yang telah diwariskan ratusan tahun lamanya,” kata Endah.
Pada kesempatan penyerahan sertifikat-sertifikat pada para pemangku budaya dan komunitas budaya, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat mengatakan bahwa sertifikat UNESCO menjadi pengukuhan jati diri bangsa dan negara serta bentuk penghormatan masyarakat dunia.
“Pengukuhan jati diri bangsa dan visi nasional sebagai kunci pelaksanaan astacita Bapak Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam memperkokoh jati diri bangsa dan menempatkan kebudayaan sebagai pilar strategis pembangunan karakter dan masa depan Indonesia,” katanya.
“Pencapaian ini merupakan awal dari tanggung jawab besar pelestarian dan menjadi momentum penting dalam upaya melibatkan generasi muda sebagai populis dalam proses pelestarian dan penularan warisan budaya,” Dirjen Tri Tharyat.
Kementerian Kebudayaan menyerahkan sertifikat asli tersebut kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), sementara salinannya diberikan oleh Menteri Kebudayaan kepada pemerintah dan komunitas. *
Ditulis Oleh: Jimmy S. Harianto
Add comment