Jimmy S. Harianto
Sudah 20 tahun keris Indonesia mendapat pengakuan sebagai salah satu mahakarya warisan budaya tak benda kemanusiaan dunia oleh UNESCO, yang diproklamasikan di markas lembaga Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan dunia di Paris, 25 November 2005.
Sebuah pengakuan, yang membuat produk budaya asli Indonesia keris semakin meluas diminati penduduk dunia dari belahan lain Nusantara, terutama dari sisi intangible heritage of humanity yang tiada duanya. Sebuah tradisi budaya yang diperkirakan sudah ada di negeri ini selama hampir duapuluh abad, meskipun catatan jejak yang jelas tercatat setidaknya melalui prasasti-prasasti di abad ke 8-9 Masehi.
Pengakuan dunia ini tentunya tidak jatuh dari langit. Sebab, ada setidaknya selama setahun sejumlah pelaku budaya di perkerisan Indonesia menyusun proposal setebal lebih dari 175 halaman, untuk diserahkan pada lembaga milik Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang bermarkas di Paris ini.

Persisnya pada 10 Agustus 2004, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia yang waktu itu diketuai Dr Meutia F Swasono memberikan kepercayaan pada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang namanya Damartaji (Persaudaraan Penggemar Tosan Aji) untuk menyusun proposal ini. Dan Damartaji, bekerjasama dengan Kemenbudpar kemudian menggelar sebuah Seminar Keris di Museum Nasional Republik Indonesia di Jalan Merdeka Barat Jakarta pada 11-12 Oktober 2004. Ratusan penggemar keris, pelaku tradisi keris, empu-empu pembuat keris serta anggota-anggota perkumpulan penggemar keris yang datang dari berbagai penjuru Indonesia, pun mengikuti seminar yang tujuannya menggalang dukungan dan masukan untuk proposal ke UNESCO, seperti yang sudah dilakukan oleh para penggemar Wayang.
Seminar Keris Nasional
Dari masukan seminar di Museum Nasional, Museum Gajah itu, Damartaji yang diketuai waktu itu oleh pakar perkerisan nasional Ir Haryono Haryoguritno – yang mantan ajudan terakhir Presiden Soekarno – lembaga swadaya masyarakat yang dipimpinnya melakukan secara intensif berbagai wawancara dengan para praktisi perkerisan nasional, serta melakukan studi literatur maupun dokumentasi tertulis tentang keris dari berbagai sumber di berbagai daerah Nusantara. Proposal yang dipersiapkan, disusun dengan mengetengahkan lima (5) aspek pokok perkerisan yang melekat dalam budaya keris Indonesia, meliputi Tradisinya, Fungsi Sosialnya, Seni, Filosofi dan juga Mistiknya. Lima aspek ini dipilih, setelah melalui berbagai wawancara, seminar serta studi kepustakaan.
Proposal itu disusun setelah mendapati kenyataan, bahwa nilai-nilai yang ada di dalam keris Indonesia itu bisa bertahan selama berabad-abad, dan bahkan masih dihayati dengan perkembangan bentuk apresiasinya serta bentuk tradisinya, meskipun saat ini masyarakat sudah mengalami era kemajuan teknologi. Tradisi keris masih bisa bertahan dan produk budaya lama pun masih bisa ditemui di berbagai museum di dunia, serta sebagian masih bisa ditemui di keraton-keraton yang ada di Nusantara.
Dengan mengirimkan proposal pencalonan Keris Indonesia sebagai Mahakarya tak benda Kemanusiaan Dunia ke lembaga dunia ini, diharapkan tradisi budaya ini terhindar dari kepunahan seperti berbagai produk budaya masa lalu. Ini juga merupakan upaya menggalang dukungan dari lembaga Perserikatan Bangsa-bangsa ini agar ikut memberi support untuk pelestarian dan pengembangan keris agar tidak punah.
Lembaga Damartaji
Damartaji, sebagai sebuah lembaga nirlaba yang resmi ditugasi untuk menyusun proposal ini, kemudian melakukan serangkaian riset lapangan ke 5 daerah yang masih memiliki tradisi keris, yaitu Jawa (Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur termasuk Madura), Bali-Lombok-Kepulauan Sunda Kecil, Sumatra Selatan-Jambi-Sumatera Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Karena terbatasnya waktu dan dana, diputuskan untuk melakukan riset di wilayah Jawa dan Bali-Lombok-Sunda Kecil saja, sementara riset di wilayah lain seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi berupa riset kepustakaan serta sejumlah wawancara terhadap berbagai pelaku budaya keris di wilayah tersebut.
Senyampang dengan riset tersebut, juga dilakukan pendokumentasian berbagai aktivitas perkerisan yang dilakukan oleh Satria Plus Film Production (Irwan Setiawan) untuk menyiapkan film pendek 10 menit, serta DVD film berdurasi dua (2) jam tentang keris Indonesia untuk proposal pencalonan keris sebagai warisan kemanusiaan dunia ke UNESCO. Juga rekaman sejumlah wawancara setidaknya dengan 42 responden, lengkap dengan data diri responden untuk dikirimkan dalam pencalonan tersebut.
Sebuah draf awal pencalonan Keris Indonesia juga diedarkan sebelum dikirimkan, untuk mendapat masukan dan koreksi dari segenap delegasi dari berbagai Paguyuban Keris di Indonesia, sumber-sumber akademis yang diperlukan, dan sejumlah tamu yang khusus diundang dalam Seminar Keris di Museum Nasional pada 11-12 Oktober 2004. Seminar Keris di Museum Nasional dimoderatori oleh Y. Sudarko Prawiroyudo. Dan kemudian, draf yang sudah dikoreksi itu disusun dalam bahasa Inggris, seperti yang bisa diperoleh kopiannya sampai saat ini.
Naskah asli proposal pencalonan Keris Indonesia itu dibuat rangkap tiga, dan dikirim ke UNESCO melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Pihak UNESCO Seksi Intangible Heritage, melalui Kantor Perwakilan UNESCO di Jalan Galuh No 5 Kebayoran Baru (Mr Himalchuli Gurung), mengirim tanda terima proposal ke UNESCO tersebut pada 24 Februari 2005.
Dan judul yang tertulis di Proposal Keris Indonesia yang disusun oleh Damartaji untuk UNESCO setebal 175 halaman itu, berjudul “The Indonesian Kris: Tradition, Social Function, Art, Philosophy and Mystique”.
Komite proyek proposal yang diketuai Ir Haryono Haryoguritno serta wakil Marsekal Madya Graito Usodo itu terdiri dari Komite Seminar Ir Pudjadi Soekarno, Omar Halim, MSc, Drs Djoko Setyohadi, Y Sudarko Prawiroyudo, bersama Tim Riset Waluyo Wijayatno, Sunyoto Bambang Suseno, Stanley Hendrawidjaja, Dipl Ing, Ir Purwodjatmiko, M. Eng, Yaya Mulyadi, Darmadi, S.Sn, Ketua Redim Suyasa dan Gaura Mancacarita.
Unit Film Satria Plus Video Production dengan Sutradara Irwan Setiawan, dengan juru kamera Yuda Richat, Scriptwriter Indra Guwenda, Editing Irwan Setiawan, Narasi Aulia Perdana, Desain Grafis Agung Susanti, serta Lighting Feri Setiadi, Awaluddin Yusuf.
Proposal yang akhirnya nanti menghasilkan Pengakuan UNESCO pada 25 November 2005 itu, didukung oleh berbagai lembaga kebudayaan dan perkerisan seperti Museum Nasional Republik Indonesia, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI Surakarta), serta berbagai lembaga lain termasuk tentunya pendukung utama, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia yang waktu itu diketuai oleh Dr F Meutia Swasono. *
Jimmy S. Harianto, pengamat perkerisan Redaktur Senior Kompas dan wartawan Kompas 1975-2012, tinggal di Jakarta.
One comment
Agung Eryanto
Perjalanan panjang untuk melestarikan Keris sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia untuk Dunia adalah sebuah loyalitas Pekeris yang sangatbluar biasa… Terima kasih Para Pemerhati Keris bersama Danartaji, tanpa anda apalah arti pelestarian saat ini 🙏🏻